Boronga
ri Kajang (Hutan di Kajang)
15
April,2014
Oleh
Fajar Erid
Suku Kajang Tana Toa
berada di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan kurang lebih 200 km dari Kota
Makassar (dulunya ; Ujung Pandang). Penduduknya beragama Islam, namun masih
menganut ajaranPatuntung(animisme). Orang Kajang meyakini bahwa hutan
mengandung kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan
bencana apabila tidak dijaga kelestariannya. Keyakinan ini kemudian diwariskan
secara turun temurun. Sejak kecil anak-anak selalu dipesan agar jangan masuk ke
dalam hutan, kalau masuk hutan nanti bisa hilang. Proses doktrinisasi ini
diperkuat melalui acara-acara ritual yang secara langsung bersentuhan dengan
hutan. Keyakinan ini terus terjaga dan seringkali kejadian – kejadian aneh yang
terjadi selalu dikaitkan dengan hutan (borong). Seiring berjalannya waktu,
pentingnya keberadaan hutan mulai disadari oleh pemangku adat suku Kajang
Tanatoa (Galla’ Kajang). Hutan - borong, selain memiliki kekuatan gaib juga
adalah sumber air bagi lahan-lahan pertanian, sehingga keyakinan tersebut
menjadi benteng kelestarian hutan.
Entah sejak kapan,
kelembagaan Adat Ammatoa dengan struktur lembaga adat yang lengkap
itu ada. Namun hingga saat ini tetap terpelihara walaupun tidak sedikit tekanan
yang berusaha merubah dan menghilangkannya. Hal ini telah berlangsung selama
ratusan tahun, The Patuntungs in The Mountains of Kajang, 1931 dalam
Tamzil Ibrahim, (2001) mencatat bahwa telah terjadi pergantian Ammatoasebanyak
16 kali. Jika kita asumsikan setiap Ammatoa memimpin selama 10 tahun
dengan jeda 3 tahun setiap pergantian pemimpin maka kelembagaan adat Ammatoa telah
berlangsung selama kurang lebih 480 tahun. Berarti sejak tahun 1515 atau awal
abad 16 Masehi budaya orang Kajang hingga saat ini tetap terpelihara, sungguh
sangat fantastis. Hal menarik yang patut kita pelajari dalam perjalanan suku
ini terkait dengan hutannya adalah bagaimana mereka bisa menjaga keberadaan
hutan tersebut selama ratusan tahun??
Pola Hidup
Masyarakat adat kajang,
memiliki pola hidup yang sangat berbasis kelestarian alam. Pola hidup ini
berhubungan erat dengan keyakinan Patuntung yang tertuang dalam Pasang dan
dijalankan secara taat oleh Ammatoa dibantu oleh para Galla.
Bagi orang Kajang, dunia tempat kita ini hanyalah tempat persinggahan menuju
kehidupan kekal akhirat. Untuk mencapai kekekalan itu hanya bisa dilakukan jika
mereka menerapkan pola hidup sederhana – Tallasa Kamase-mase. Hidup
sederhana bagi mereka adalah prinsip dasar – ideologi dalam melakoni
hidup. Tallasa kamase-mase ini tercermin dalam Pasang
1. Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu
kamase-mase, a’dakkako nu kamase-mase, a’meako nu kamase-mase artinya;
berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana,
dan berbicara engkau sederhana.
2. Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea,
angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola
situju-tuju. Artinya; Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya
kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, pembeli ikan secukupnya,
kebun secukupnya, rumah seadanya.
Pasang diataslah yang menjadi keyakinan hidup
mereka, sehingga semua aspek kehidupan seperti makanan, pakaian, kebun, sawah,
rumah serba sederhana tidak berlebihan termasuk dalam pemanfaatan sumber daya
hutan.
Pemanfaatan Sumber daya
Hutan
Orang kajang dalam menguasai dan mengurus hutan
memiliki kearifan-kearifan yang dapat menjaga kualitas dan kuantitas hutan.
Kearifan – kearifan tersebut bersumber dari pesan-pesan leluhur yang disampaikan
secara lisan dari generasi ke generasi. Pesan-pesan leluhur yang mengatur
tentang pengelolaan hutan tertuang dalam pasang sebagaimana diutarakan sebagai
berikut :’Jagai linoa lollong bonena, Kammayya tompa langika, Siagang rupataua,
Siagang boronga’ Artinya : Peliharalah dunia beserta isinya, begitu juga
langit, manusia dan hutan.Keyakinan inilah yang menyebabkan terjadinya hubungan
harmonis antara hutan dan masyarakat dan alasan itu pula sehingga masyarakat
menempatkan hutan sebagai bagian dari struktur kepercayaan mereka. Peran hutan
bagi orang Kajang pertama, sebagai fungsi ritual yaitu salah satu mata rantai
dari sistem kepercayaan yang memandang hutan sebagai suatu yang sakral.
Konsekuensi dari kepercayaan tersebut tergambar pada upacara yang dilakukan
dalam hutan, misalnya pelantikan pemimpin adat (ammatoa), attunu passaung (upacara
kutukan bagi pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan upacara angnganro
(bermohon kepadaTuriek Akrakna untuk suatu hajat baik individu maupun
kolektif). Kedua, sebagai fungsi ekologis, dimana hutan dipandang sebagai
pengatur tata air (appariek bosi, appariek tumbusu), menyebabkan
hujan dan menimbulkan mata air.
Wilayah yang pertama
diistilahkan sebagai Borong Karamaka atau hutan keramat, merupakan
areal hutan yang tidak boleh dimanfaatkan secara langsung baik dalam bentuk
hasil kayu maupun non kayu bahkan untuk masukpun tidak diperkenankan.
Wilayah kedua disebut
sebagai Borong batasayya atau hutan pembatas, merupakan areal hutan
yang pemanfaatannya dilakukan secara terbatas dalam bentuk hasil hutan berupa
kayu dengan mekanisme pemanfaatan yang telah ditentukan oleh adat.
Wilayah yang ketiga
adalah Borong luarayya yaitu zona pemanfaatan, didalamnya ditanami
kayu-kayuan berupa bitti, dan tanaman kebun lain seperti coklat dan lain
sebagainya.
Ketentuan Adat Dalam
Pemanfaatan Hutan
Masyarakat adat Kajang menerapkan
ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan
hutan. Dalam prakteknya penerapan ketentuan adat ini mengatur seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah adat ammatoa Kajang
diberlakukan kepada seluruh komponen masyarakat tanpa kecuali. Ketentuan ini
berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun temurun. Ketentuan
adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku (lebba) yang diterapkan kepada
setiap pelanggar. Dalam hal ini pula berlaku sikap tegas (gattang) dalam arti
konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada dispensasi, dalam pasang
disebutkan : ‘Anre na’kulle nipinra-pinra punna anu lebba’ Artinya :
Jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa dirubah lagi.
Faktor penentu tetap
terpeliharanya kelestarian hutan adalah adanya penetapan aturan dan
pemberlakuan sanksi-sanksi yang tegas. Pasang secara eksplisit melarang setiap
tindakan yang mengarah pada kemungkinan rusaknya ekosistem hutan, seperti
menebang kayu, memburu satwa, atau memungut hasil-hasil hutan. Pasang inilah
yang memberikan ketentuan tersebut agar aturan yang ditetapkan berjalan dengan
efektif. Aturan –aturan tersebut adalah Pertama, Cappa Ba’bala atau
pelanggaran ringan, Cappa babbala diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang
pohon dari koko atau kebun warga masyarakat ammatoa. Hukumannya berupa denda
enam real atau menurut mata uang Indonesia terhitung sebesar uang enam ratus
ribu rupiah dan satu gulung kain putih.
Kedua, Tangnga
Ba’bala atau pelanggaran sedang. Tangnga babbala merupakan sangsi untuk
pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan borong batasayya. Pengambilan kayu
atau rotan atau apa saja dalam kawasan borong batasayya tanpa seizin ammatoa
berarti melanggar aturan Tangnga babbala. Ketika seseorang diizinkan oleh
ammatoa untuk mengambil sebatang pohon kemudian ternyata mengambil lebih banyak
dari yang diizinkan, maka orang tersebut telah melanggar aturan Tangnga
babbala. Jika seseorang melanggar aturan tangnga babbala akan dikenakan denda
sebesar delapan real atau sebanding dengan delapan ratus ribu rupiah dengan
mata uang Indonesia ditambah satu gulung kain putih.
Ketiga, Poko’
Ba’bala atau pelanggaran berat. Poko babbala diberlakukan kepada seluruh
masyarakat yang bernaung dibawah kepemimpinan ammatoa jika melakukan
pelanggaran berat menurut adat. Pelanggaran yang berhubungan dengan Borong
Karamaka diatur dalam poko babbala. Jika masyarakat adat mengambil hasil hutan
baik kayu maupun non kayu di dalam Borong karamaka secara langsung mendapat
poko babbala. Poko babbala merupakan hukuman terberat dalam konsep aturan adat
ammatoa. Masyarakat adat yang melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa
denda dua belas real, dalam mata uang Indonesia sebesar satu juta dua ratus
ribu rupiah, kain putih satu lembar dan kayu yang diambil dikembalikan ke dalam
hutan.
Disamping sanksi berupa
denda, hukuman adat yang sangat mempengaruhi kelestarian hutan adalah sanksi sosial
berupa pengucilan. Hukuman ini bagi masyarakat adat kajang lebih menakutkan.
Jika masyarakat melanggar poko babbala maka pemangku adat tidak akan menghadiri
acara atau pesta yang dilangsungkan. Bagi mereka lebih baik dipenjara seumur
hidup daripada harus kena poko babbala. Lebih menakutkan lagi karena sanksi
pengucilan ini berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai tujuh turunan. Ketika
pemangku adat dan ammatoa tidak hadir maka setiap acara atau pesta yang
berlangsung dianggap sia-sia.
Referensi:
Facebook:Fajar Erid
Email:fajarerid@yahoo.com
http://fajarerick.blogspot.com
Twitter:@FajarErid
Pin BB:
Instagram:Fajar_Erid
Pin BB:
Instagram:Fajar_Erid